Saterdag 27 April 2013

Politik Etis dan Dampaknya Terhadap Perkembangan
Nasionalisme Indonesia


*      Politik   Etis ( Politik Balas Budi )
Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi.  Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:

  • a.       Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
  • b.      Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
  • c.       Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.

*      Politik Etis dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Nasionalisme Indonesia
                    Pendidikan merupakan salah satu batu loncatan bangsa Indonesia untuk mencapai tujuannya. Adapun tujuan dari bangsa yang puas akan penjajahan ini adalah adalah kebebasan; kebebasan dari belenggu kolonialisme. Pada awal abad ke-XX politk pembaharuan telah melahirkan sistem yang kelak akan membawa angin baik pada kehidupan bangsa Indonesia. Sehingga adanya penjajahan ternyata tidak selamanya memberikan dampak negative namun di sisi lain telah memberikan dampak positif yakni untuk mencapai keinginan kemerdekaan yang berdaulat.
                        Perkembangan pendidikan serta lahirnya perguruan tinggi di Indonesia merupakan proses bangsa ini untuk menuju yang namanya pengetahuan berpolitik. Dimana Pada tahun 1910 keberadaan Studiefonds yang bertujuan untuk mengirim anak yang berbakat belajar ke Eropa telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap lahirnya semangat nasionalisme  Indonesia.
                                Program beasiswa yang membawa anak-anak bumiputera sampai pada negeri Eropa membuat mereka mendapat banyak ilmu serta mengetahui gaya hidup orang-orang Eropa yang bersifat maju. Dari contoh tersebut kemudian para bumiputera ini kemudian berfikir untuk menerapkan sistem tersebut atas bangsa dan tanah airnya. Selain itu peran perkembangan pendidikan juga telah menunjukan bahwa negeri Belanda memiliki peranan penting dalam melahirkan anak bangsa Indonesia yang memperoleh title sarjana; anak bangsa yang berkualitas dalam mengharumkan negeri Hindia. Misalnya pada tahun 1913 hasil disertasi Prof, Dr Hoesin seorang anak Banten manjadi karya puncak dalam studi filologi Indonesia dan Dr Soepomo yang menjelang perang fasifik ditetapkan sebagai profesor hukum adat. Keduanya merupakan sarjana yang dihasilkan oleh Leiden University. Bukan hanya Leiden, Rotterdam juga menghasilkan ahli ekonomi seperti Samsi. Selain itu ada tokoh lain yang belajar di Negara Eropa selain Belanda yaitu Mohamad Syafei yang memperoleh gelar M.D (Medical Doctor) dari Johns Hopkins University (Baltimore).
                          Pendidikan menghadirkan perguruan tinggi yang berjasa dalam menyalurkan bakat pribumi. Kita lihat sejak tahun 1900 ketika J.H. Abendanon menjadi direktur Pendidikan di Hindia Timur pada tahun 1900. Pada pelaksanaan Politik Etisnya di bidang pendidikan (edukasi) J.H. Abendanon banyak memberikan rangsangan yang menimbulkan kesadaran kepada para angkatan muda Indonesia, antara lain pemuda Abdoel Moeis yang belakangan menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI) dan lewat korespondensi dia berhasil mengobarkan semangat pemikiran Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara, yang pada akhirnya merangsang tumbuhnya sekolah-sekolah untuk kalangan wanita diIndonesia.
                          Dari sinilah kita lihat pribumi ini kemudian mulai mencari jati diri, mencari identitas bangsa (Local Genius). Dengan demikian pendidikan telah membawa anak bangsa dalam mengembangkan ide dalam mencari pemikiran sendiri atau dengan kata lain sebagai salah satu faktor yang menggariskan hari depan bangsa. Para pemuda Indonesia yang belajar diluar ini kemudian pulang ketanah air dengan mendirikan pergerakan bahkan perkumpulan-perkumpulan yang menuntut tercapainya kemerdekaan.
                          Dampak pendidikan ini sebelumnya sudah ada satu masa dengan penerapan Politik Ethis. Hal ini terlihat dengan adanya organisasi pergerakan seperti: seperti Budi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Dagang Islam (1908); yang kemudian diubah menjadi Serikat Islam pada tahun 1913, dan Indische Partij pada tahun 1912, Perhimpunan Indonesia pada tahun 1908. Selain itu pula ada partai yang lahir sesudah adanya pengaruh dari perkembangan Universitas dan pendidikan Eropa seperti PKI pada 23 Mei 1920, dan Parindra sekitar 1935 serta partai-partai lainnya. Wakil-wakil dari pergerakan inilah yang kemudian akan tampil dikancah politik Hindia Belanda, serta menempatkan fungsinya untuk menyalurkan aspirasi seluruh rakyat Indonesia.
                          Selain itu tujuan dari pergerakan-pergerakan organisasi tersebut merupakan langkah awal bagi Indonesia untuk meraih kemerdekaan karena semua organisasi diatas memuat tujuan sama yaitu Indonesia satu yang terlepas dari penetrasi kolonial. Indonesia yang merdeka; Indonesia yang mampu berdiri untuk memimpin negerinya sendiri.